Bagus, ngaji dan Dagang sebagai warisan lokal masyarakat Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai soft skill di dalamnya. Pertama, salah satu bentuk sikap dari inti nilai gusjigang adalah ”Gus” kepanjangan dari kata bagus. Menurut \citet{Said2013a}  hal ini tercermin dari sikap masyarakat kudus mempunyai nilai toleransi dan empati yang sangat tinggi. Adanya kepercayaan masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih sapi merupakan salah satu bentuk sikap soft skill kemampuan berkomunikasi dan sikap interpersonal yang baik. Lebih lanjut  \citet{Said2014} Sehingga pada dasarnya Sunan Kudus lebih cinta damai dan memiliki toleransi yang tinggi dalam berinteraksi dengan umat yang memiliki perbedaan latar belakang keyakinan maupun budaya. Sunan Kudus memiliki kepekaan usaha serta etos kerja yang tinggi sehingga kekayaan dirinya sebagai individu melimpah dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya menjadi maju \cite{Said2014} . Apabila dikaitkan dengan elemen-elemen soft skill dari Tabel 1 di atas, maka nilai “Gus” dari kata bagus sangat sesuai dengan soft skill kemampuan berkomunikasi, kerjasama tim, serta etika moral dan profesionalisme.
Kemampuan berkomunikasi disini merupakan bentuk dari sikap inter-personal seseorang. Masyarakat Kudus yang mempunyai sifat “Gus” begitu kental dengan nilai-nilai toleransi dan menjunjung tinggi keberagaman. Sifat bagus ini juga sesuai dengan kemampuan soft skill yang harus dimiliki seseorang yaitu kemampuan untuk membangun hubungan, berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan lainnya. Selain itu elemen soft skill yang sebaiknya dimiliki diantaranya adalah kemampuan untuk mempraktikan etika dan perilaku disamping mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakat. Elemen yang satu ini sangat sesuai dengan nilai “Gus” dalam Gusjigang. Kemampuan untuk memahami, menghargai dan menghormati perilaku, pemahaman dan keyakinan orang lain juga sangat sesuai dengan nilai “Gus” dalam Gusjigang. Coba lihat lagi betapa masyarakat Kudus sangat menghargai yang namanya perbedaan serta menjunjung sikap toleransi yang sangat tinggi. Seperti kita ketahui bersama bahwa di Kota Kudus sangat jarang kita temukan makanan yang berasal dari daging sapi. Karena menurut kepercayaan masyarakat Kudus, mereka pantang untuk menyembelih sapi sesuai dengan titah dari Sunan Kudus sebagai bentuk penghormatan terhadap penganut agama lain.
Kedua, adalah nilai “ji” atau ngaji. Masyarakat Kudus selalu mempunyai semangat untuk belajar sepanjang hayat. Hal ini dibuktikan dengan ramainya pesantren, lembaga pendidikan Islam baik formal maupun non formal. Apabila menilik data yang dirilis oleh Bappeda Kabupaten Kudus. Pada tahun 2016 terdapat sekitar 393 lembaga pendidikan Islam yang tercatat dengan rincian 152 Pesantren, 141 Madrasah Ibtidaiyah, 64 Madrasah Tsanawiyah, 35 Madrasah Aliyah, dan satu Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)  (Bappeda Kabupaten Kudus). Apabila kita menilik pada penelitian yang dilakukan oleh \citet{Lestari} yang menyebutkan bahwa masyarakat kudus selalu belajar pada lembaga formal di pagi hari dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di Taman Pendidikan al-Qur’an ataupun sejenisnya. Masyarakat Kudus juga rutin mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh Pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK).
Cermin masyarakat santri ditunjukkan dengan banyaknya masjid lingkungan serta fasilitas pendidikan Islam di kawasan tersebut, baik yang formal seperti Madrasah maupun yang non formal seperti Pondok Pesantren dan Madin \citep*{Sardjono2015}. Hal ini melegitimasi bahwa masyarakat Kudus lebih mementingkan untuk terus melakukan nilai “Ji” atau ngaji. Karena ngaji disini tidak hanya dimaknai pembacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an semata, tetapi ngaji disini adalah semangat untuk terus belajar. Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai soft skill yang ada di tabel 1 di atas, nilai “ji” dari gusjigang mengandung nilai soft skill dari Sharma yang dikutip dari \citet*{Sumar2016} kemampuan untuk mengelola informasi yang relevan dari berbagai sumber, kemampuan untuk menerima ide-ide baru, dan kemampuan untuk mengembangkan keinginan untuk menginvestigasikan dan mencari pengetahuan.
Tingginya nilai soft skill masyarakat Kudus dalam hal belajar sepanjang hayat dapat dilihat dari sikap dan semangat masyarakat Kudus yang tidak puas hanya bersekolah formal saja di pagi hari, tetapi mereka juga mengikuti kelas-kelas non formal di sore harinya. Bahkan \citet{Said2013a}  menyebutkan bahwa tradisi ngaji apabila tidak dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Kudus merupakan sebuah aib, walaupun saat ini hal tersebut telah mengalami sebuah pergeseran. Lebih jauh lagi \citet{Said2013a} menyebutkan bahwa figur Sunan Kudus sebagai waliyyul ‘ilmy atau diartikan seseorang yang mempunyai kedalaman ilmu dan sangat memperhatikan urusan-urusan keilmuan. Hal tersebut merupakan bukti sahih bahwa Sunan Kudus menularkan semangat untuk terus belajar dan mencari ilmu sepanjang hayat kepada masyarakatnya.
Ketiga, adalah “gang” atau dagang. Kota Kudus dipandang sebagai Kota enteprenuer hal ini tercermin dari karakteristik masyarakat Kudus yang pantang menyerah dan bekerja keras. \citet{Said2013} menyebutkan bahwa Sunan Kudus sebagai tokoh pendiri dan panutan masyarakat Kudus adalah seorang pedagang yang sukses dan kaya. Tidak heran jika kemudian sebagian besar masyarakat Kudus adalah seorang wirausaha yang ulet, kaya dan sukses. Apabila dikaitkan dengan nilai soft skill keterampilan kewirausahaan sangat sesuai. Masyarakat Kudus mempunyai kemampuan untuk membangun, mengeksplorasi dan mencari peluang bisnis kerja serta punya kemampuan berwirausaha sendiri. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh \citet{Sardjono2015} kehidupan keseharian masyarakat juga diwarnai dengan kegairahan kehidupan perekonomian yang mandiri. Sebagian besar masyarakat Kudus Kulon hidup dari perdagangan serta industri rumah tangga.
Sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Kudus, gusjigang telah berada di dalam lingkungan masyarakat berlaku dan berjalan selama ratusan tahun. Soft skill kewirausahaan yang sesuai dengan gusjigang juga didukung oleh fakta bahwa aktifitas yang paling utama bagi masyarakat Kudus adalah hal-hal yang terkait dengan keagamaan, serta perdagangan dan bisnis \citet*{AgungBudiSardjono}. \citet*{Mustaqim2015} menyebutkan bahwa spirit gusjigang telah terinternalisasi dan menjadi perilaku berbisnis pada sebagian besar masyarakat Kudus. Beberapa fakta di atas apabila dikatikan dengan nilai-nilai soft skill tidak dapat dibantah lagi kebenarannya. Semangat bagus, ngaji dan dagang tidak hanya menjadi kearifan lokal masyarakat Kudus, tetapi sudah menjadi perilaku dan kemampuan sebagian besar masyarakat Kudus.